Indonesia menghasilkan sekitar 68 juta ton sampah setiap tahun, dan 60% diantaranya adalah sampah organik. Sayangnya, kebanyakan sampah organik ini masih dibuang begitu saja ke tempat pembuangan akhir tanpa diolah. Pesantren sebagai lembaga pendidikan dengan ribuan santri juga menghadapi masalah yang sama. Setiap hari, pesantren menghasilkan banyak sampah organik dari sisa makanan, limbah dapur, dan sampah organik lainnya. Tanpa pengelolaan yang tepat, sampah ini bisa menimbulkan masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan pesantren.
Cacing tanah Lumbricus atau yang dikenal sebagai cacing merah adalah solusi alami untuk masalah sampah organik. Cacing ini sangat efektif dalam mengurai sampah organik seperti sisa sayuran, buah-buahan, dan dedaunan. Yang menarik, satu kilogram cacing bisa menghabiskan sampah organik dengan berat yang sama atau bahkan lebih setiap harinya. Hasil dari proses pencernaan cacing adalah kascing, yaitu pupuk organik berkualitas tinggi yang sangat baik untuk tanaman.
Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini Pasuruan telah menerapkan budidaya cacing Lumbricus sebagai bagian dari program eco pesantren. Dengan ribuan santri, pesantren ini menghasilkan ratusan kilogram sampah organik setiap hari. Sampah organik dipilah terlebih dahulu, lalu diolah menjadi pakan cacing. Setiap unit budidaya bisa mengolah 20-30 kilogram sampah organik per hari dan menghasilkan 10-15 kilogram kascing berkualitas tinggi.
Program ini dapat memberikan manfaat yang berlipat ganda. Pertama, volume sampah organik berkurang hingga 70-80 persen, sehingga lingkungan pesantren menjadi lebih bersih. Kedua, kascing yang dihasilkan dijual sebagai pupuk organik kepada petani lokal. Ketiga, cacing dewasa bisa dijual sebagai pakan ternak.

Budidaya cacing Lumbricus ini dapat membuktikan bahwa program ini tidak hanya menyelesaikan permasalahan sampah organik, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi, edukasi, dan social impact yang berkelanjutan. Program budidaya cacing Lumbricus di Al-Yasini menjadi inspirasi bahwa pendidikan pesantren dapat berkontribusi aktif dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan sambil tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran Islam. Model ini layak untuk dikembangkan dan direplikasi sebagai bagian dari strategi nasional pengelolaan sampah dan pendidikan lingkungan yang berbasis komunitas.
Kontributor: Djihan Maghfiroh