Pesantren dikenal luas sebagai tempat para santri menimba ilmu agama sekaligus membentuk karakter. Namun seiring perkembangan zaman, peran pesantren ternyata semakin meluas — bukan hanya sebagai pusat pendidikan keagamaan, tapi juga agen perubahan sosial, termasuk dalam isu-isu lingkungan. Dari sinilah lahir konsep yang menarik: eco pesantren. Mengelola lingkungan bukan semata soal teknis, tetapi bagian dari nilai keislaman itu sendiri. Sebagaimana dalam ajaran Islam, manusia ditunjuk sebagai khalifah di bumi — artinya, kita punya tanggung jawab moral untuk menjaga alam, bukan malah merusaknya.
Salah satu wujud konkret penerapan eco pesantren adalah dengan membangun bank sampah. Di sini, santri dan warga pesantren diajak memilah sampah anorganik seperti plastik, kertas, dan logam, lalu menyerahkannya ke bank sampah. Sampah-sampah itu kemudian ditimbang, dicatat, dan bisa ditukar dengan tabungan atau barang kebutuhan sehari-hari. Melalui konsep ini, pengelolaan sampah menjadi lebih terarah. Selain itu, santri juga belajar tentang ekonomi sirkular — bahwa sampah bukan hanya masalah, tetapi juga bisa menjadi peluang.
Beberapa pesantren besar di Indonesia telah sukses mengelola bank sampah. Misalnya Pesantren Tebuireng di Jombang, yang berhasil mengelola hingga 50 ton sampah per bulan setelah menghidupkan kembali program bank sampah mereka. Ini bukti bahwa dengan pengelolaan serius, pesantren bisa mandiri dalam urusan lingkungan. Berbicara tentang eco pesantren, Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini di Pasuruan juga patut diangkat sebagai contoh inspiratif. Al-Yasini — yang menaungi ribuan santri dari berbagai daerah, mulai berbenah dalam pengelolaan lingkungan.
Selama ini, pengelolaan sampah di Al-Yasini cenderung tradisional, seperti dibakar atau dibuang ke TPA. Namun, kesadaran mulai tumbuh. Dengan memanfaatkan pendekatan edukatif, Al-Yasini kini aktif mengadakan pelatihan tentang pengelolaan sampah, terutama untuk santri tingkat SMA/SMK di bawah naungan Yayasan Al-Yasini. Tujuannya bukan hanya membuat lingkungan pesantren lebih bersih, tetapi juga membangun budaya peduli lingkungan dalam jangka panjang. Santri diajak memilah sampah, memahami pentingnya daur ulang, hingga dikenalkan dengan konsep “zero waste” — upaya untuk mengurangi sampah seminimal mungkin. Langkah kecil ini diharapkan akan menjadi pondasi kuat bagi para santri, yang kelak akan membawa spirit peduli lingkungan ke masyarakat luas.

Menyatukan Iman dan Ekologi
Pada akhirnya, eco pesantren bukan sekadar program sesaat. Ini adalah gerakan jangka panjang yang menyatukan ajaran agama dengan aksi nyata menjaga bumi. Karena iman yang kuat harus dibarengi dengan amal saleh, termasuk dalam urusan merawat alam. Ketika santri diajarkan untuk menjaga lingkungan sejak dini, mereka tidak hanya menghafal ayat-ayat tentang penciptaan alam, tetapi juga mempraktekkannya dalam keseharian. Mereka belajar bahwa mencintai bumi adalah bagian dari mencintai Sang Pencipta. Membangun eco pesantren mungkin butuh waktu dan usaha. Tapi setiap langkah kecil yang dilakukan hari ini akan menjadi investasi besar bagi generasi mendatang.
Seperti kata pepatah Arab, “Man jadda wa jada”, yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil. Semoga gerakan eco pesantren ini menjadi bagian dari ikhtiar kita bersama, membangun pesantren yang lebih hijau, lebih bersih, dan tentu saja, lebih barokah.

Kontributor: Djihan Maghfiroh
Editor: M. Mu’tamid Ihsanillah, Lc., M.A