Kajian Akhlak : Konsekuensi Beramal Bukan Karena Allah

Oleh : Ustdz M. Lukman

Pasuruan, 19 Maret 2025 – Sudah selayaknya bagi kita sebagai umat manusia untuk menggantungkan amalnya hanya untuk mencari ridho Allah Swt. Menggantungkan amal hanya kepada Allah adalah bentuk ketundukan kita sebagai hamba-Nya dan jalan menuju kebahagiaan yang hakiki di dunia serta akhirat. Tapi terkadang, karena desakan situasi tertentu baik dalam keadaan sadar atau tidak, niat itu kita rubah. Tidak murni lagi karena Allah.

Lalu apakah terdapat konsekuensi dan resiko ketika amal itu diniatkan bukan karena Allah ?. Dalam hal ini, Imam Nawawi sampai membuatkan bab khusus untuk itu pada karyanya Irsyadul Muta’allim wal Mu’allim dengan judul:

فَصْلٌ فِي ذَمِّ مَنْ أَرَادَ بِفِعْلِهِ غَيْرَ اللَّهِ تَعَالَى

“Bab tentang celaan terhadap orang yang menghendaki perbuatannya pada selain Allah Ta’ala”.

an-Nawawi dalam pembahasan tersebut menyampaikan bahwa berbagai macam keutamaan mencari ilmu yang telah disebutkan hanya berlaku bagi orang yang mencarinya dengan tujuan mengharap ridho Allah Ta’ala, bukan untuk kepentingan duniawi.

Barangsiapa yang menuntut ilmu demi tujuan duniawi, seperti mencari harta, kedudukan, jabatan, kehormatan, ketenaran, menarik perhatian manusia, mengalahkan lawan debat, atau tujuan-tujuan lain yang serupa, maka ia tercela. Celaan ini bukan hanya terkhusus pada amal berupa mencari ilmu saja, tapi juga untuk semua amal secara umum baik berupa ibadah atau lainnya. Jika semua amal itu diniatkan pada selain Allah, semuanya akan tertolak. 

وَرُوِّيْنَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ «إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ أُسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا ؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى أُسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِيُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ – وَرَجُلُ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِي بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا ؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ قَارِئُ فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ»

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda; “Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang mati syahid. Ia didatangkan (ke hadapan Allah), lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat (yang telah diberikan kepadanya), maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu berdusta! Tetapi kamu berperang agar dikatakan sebagai seorang yang pemberani, dan itu sudah dikatakan.’ Kemudian ia diperintahkan untuk diseret dengan wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.

“Kemudian (orang kedua) adalah seorang lelaki yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an. Ia didatangkan (ke hadapan Allah), lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat (yang telah diberikan kepadanya), maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku telah mempelajari ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Qur’an karena-Mu.’ Allah berfirman, ‘Kamu berdusta! Tetapi kamu belajar agar dikatakan sebagai seorang alim, dan kamu membaca Al-Qur’an agar dikatakan sebagai seorang qari’, dan itu sudah dikatakan.’ Kemudian ia diperintahkan untuk diseret dengan wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (an-Nawawi, Irsyadul Muta’allim wal Mu’allim, [Indonesia, al-Maktab al-Fardl : tanpa tahun] hal 28).

وَرُوِّيْنَا عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَيْضًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ «مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ تَعَالَى لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» يَعْنِي رِيحَهَا

Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya digunakan untuk mencari ridho Allah Ta’ala, tetapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.” (an-Nawawi, Irsyadul Muta’allim wal Mu’allim, [Indonesia, al-Maktab al-Fardl : tanpa tahun] hal 29).

وَعَنْ أَنَسٍ وَحُذَيْفَةَ قَالَا قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ «مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يُكَاثِرَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ»

Diriwayatkan dari Anas dan Hudzaifah, mereka berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda; “Barang siapa mencari ilmu untuk membantah orang-orang bodoh, atau untuk menandingi para ulama, atau untuk menarik perhatian manusia kepadanya, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (an-Nawawi, Irsyadul Muta’allim wal Mu’allim, [Indonesia, al-Maktab al-Fardl : tanpa tahun] hal 30).

Dari kisah-kisah hadits di atas semakin memperjelas mengenai imbas bagi orang-orang yang beramal karena kepentingan pada selain Allah. Dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu.

Dalam ta’liqat (catatan) kitab Irsyadul Muta’allim wal Mu’allim tersebut menafsirkan hadis-hadis ini sebagai ancaman bahwa orang tersebut pantas untuk tidak masuk surga terlebih dahulu. Namun, urusannya tetap diserahkan kepada Allah Ta’ala, sebagaimana keadaan semua pelaku dosa lainnya yang wafat dalam keadaan beriman. Demikian dikatakan dalam kitab Fathul Wadud syarah Sunan Abi Daud, sebagaimana disebutkan juga dalam kitab ‘Aunul Ma’bud.

Lantas pertanyaannya, bagaimana seseorang bisa beramal murni dan ikhlas hanya karena Allah Swt?, bukankah hanya wali-wali Allah saja yang bisa menerapkan itu?, sedangkan kita yang awam beribadah mentok masih berharap agar dapat masuk surga dan jauh dari api neraka. Ketika niat dalam beramal dan beribadah ditujukan seperti itu, apa masih bisa dikatakan ikhlas?

Ada beberapa kategori ikhlas dimana seseorang yang melakukan suatu amalan dengan motivasi tertentu, ia masih bisa dikatakan berperilaku ikhlas. Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani memberikan beberapa tingkatan ikhlas dalam Kitab Nashoihul Ibadnya : 

فأعلى مراتب الإخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته إلا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون إقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

“Maka derajat ikhlas yang paling tinggi adalah menyucikan amal dari memperhatikan makhluk, yaitu dengan tidak menginginkan dari ibadahnya selain menaati perintah Allah dan menunaikan hak peribadatan, tanpa mengharapkan kecintaan, pujian, harta, atau hal-hal semacam itu dari manusia.”

Tingkatan ini adalah derajat ikhlas yang paling tinggi dimana seseorang yang mencapai kedudukan ini sama sekali tidak mengharap perhatian apapun dari selain Allah Swt. Ia memposisikan diri layaknya budak di hadapan tuannya, selalu menuruti perintah dan menjauhi larangan dari majikannya. Ia tidak sedikitpun mengharapkan balasan apapun dari amal yang dikerjakannya. Ia pun tidak peduli karena amalnya ia bakal dimasukkan surga atau neraka. Karena yang ia kejar hanya ridho Allah semata.

والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وإدخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها

“Dan tingkatan ikhlas yang kedua adalah beramal karena Allah dengan mengharapkan keuntungan di akhirat, seperti dijauhkan dari neraka, dimasukkan ke dalam surga, dan diberikan berbagai kenikmatan di dalamnya.”

Pada tingkatan ini, derajat ikhlasnya tidak sebenar-benarnya ikhlas. Lebih rendah daripada derajat yang pertama, tapi tetap masih dikatakan ikhlas. Pada kedudukan ini, seseorang tetap beramal karena Allah hanya saja sembari mengharapkan kemanfaatan kelak di akhirat. Ia beramal karena ingin masuk surga, dan menjauhi maksiat karena tak ingin masuk neraka. Tujuan amal seperti ini diperbolehkan sebab Allah dan Rasul-Nya seringkali memotivasi Hamba dan Umatnya untuk melakukan suatu amalan dengan balasan berupa kenikmatan akhirat. 

والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات

“Dan tingkatan ikhlas yang ketiga adalah beramal karena Allah dengan mengharapkan keuntungan duniawi, seperti diluaskan rezekinya dan dijauhkan dari hal-hal yang menyakitkan.”

Dan pada tingkatan ini adalah derajat ikhlas yang paling rendah. Seseorang beramal masih tetap karena Allah, hanya saja ia juga berharap karena amalnya ia memperoleh nikmat duniawi seperti diluaskan rezeki, dipanjangkan umur, disehatkan jasmani dan rohani. Serta agar dijauhkan dari segala macam musibah dunia, semisal kemiskinan, kegagalan, kesakitan dan lain-lain. Pada tahapan ini, niat demikian tetap masih diperbolehkan karena agama sendiri juga sering menawarkan imbalan-imbalan kenikmatan dunia untuk memotivasi umat agar melakukan amalan tersebut. Hanya saja derajat ikhlasnya berada pada tingkatan yang paling rendah.

Lantas bagaimana dengan amalan selain dengan niat diatas?, seperti seseorang yang beribadah agar dicap sebagai ahli ibadah, orang yang belajar agama agar dijuluki sebagai orang yang alim, orang yang baca qur’an agar dianggap sebagai ahli qur’an dan tujuan-tujuan lain yang muaranya ingin mendapatkan perhatian, kehormatan, dan ketenaran dari manusia yang lain. Maka menurut Syekh Nawawi al-Bantani orang tersebut telah berperilaku riya’ yang dicela oleh agama. 

وما عدا ذلك رياء مذموم

“Dan selain itu termasuk riya yang tercela.” (an-Nawawi al-Jawi, Nashoihul ‘Ibad, [Surabaya, Dar al-Jawahir : Tanpa Tahun], hal 37).

Kesimpulannya, ancaman untuk amal yang tidak diniati karena Allah Swt, adalah ketika beramal yang tujuannya duniawi dan dilarang oleh agama semisal ingin mendapatkan kecintaan, pujian, jabatan dan harta dari sesama manusia. Ketika tujuannya duniawi tapi tidak dilarang maka diperbolehkan seperti derajat ikhlas yang ketiga. Ketika tujuannya karena keuntungan akhirat, maka juga masih diperbolehkan. Seperti penjelasan pada derajat ikhlas yang kedua.

Referensi:

an-Nawawi, Irsyadul Muta’allim wal Mu’allim, al-Maktab al-Fardl

an-Nawawi al-Jawi, Nashoihul ‘Ibad, Dar al-Jawahir

Penulis: Ahmad Syadidul Aqil 

Editor: M. Mu’tamid Ihsanillah Lc. M.A

case studies

See More Case Studies

Tertarik Untuk Bergabung Menjadi Penulis ?

Daftarkan diri Anda untuk menjadi kontributor penulisan dan berita di situs resmi alyasini.net!

Bergabunglah bersama kami untuk menyampaikan informasi, inspirasi, dan berita terkini seputar Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini. Jadilah bagian dari tim yang turut berkontribusi dalam menyebarkan kabar baik dan edukasi melalui tulisan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Informasi lebih lanjut dan pendaftaran, kunjungi situs resmi kami di alyasini.net. Mari berkarya bersama!

Masukkan Saran dan Kritikan