Oleh : Ustdz M. Lukman
Pasuruan, 12 Desember 2025 – Orang Tua dan Guru adalah dua pilar penting dalam kehidupan manusia. Dua sosok itu adalah penyebab manusia bisa tumbuh dan berkembang hingga menjadi manusia yang sempurna. Baik sempurna bentuk, ilmu dan karakternya. Maka wajiblah bagi manusia itu untuk menaruh rasa hormat terhadap keduanya dan memuliakannya. Keduanya punya peran dan tugas masing-masing.
Lalu seringkali kita dibuat ambigu oleh desas desus yang meresahkan masyarakat tentang siapa yang lebih berhak diutamakan antara orang tua dan guru ?
Dalam hal ini, Imam al- Ghozali memberikan penjelasan dalam kitab Minhaj al-Muta’allim nya :
وَيُقَدَّمُ حَقُّ أُسْتَاذِهِ عَلَى حَقِّ أَبَوَيْهِ وَسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : ( خَيْرُ الْآبَاءِ مَنْ عَلَّمَكَ). وَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : ( إِنَّمَا الْمُعَلِّمُ أَبٌ لَكُمْ ، مِثْلُ الوَالِدِ لِوَلَدِهِ). بَلْ هُوَ الْوَالِدُ عَلَى الحَقِيقَةِ، فَإِنَّ الْأَبَ سَبَبُ الحَيَاةِ الْفَانِيَّةِ، وَالمُعَلِّمُ سَبَبُ الحَيَاةِ الْبَاقِيَةِ. وَلِذَلِكَ يُقَدَّمُ حَقَّهُ عَلَى حَقِّ الْأَبَوَيْنِ
“Didahulukan hak guru daripada hak kedua orang tua dan seluruh muslimin, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda : “Sebaik-baik orang tua adalah orang yang mengajari ilmu terhadap kalian”. Juga sabda Rasulullah Saw : “Sesungguhnya guru itu adalah bapak kalian, sebagaimana orang tua terhadap anaknya”. Bahkan guru itu adalah sejatinya orang tua, karena orang tua adalah yang menjadi sebab kehidupan yang fana’ (dunia) dan guru adalah penyebab kehidupan yang kekal (akhirat). Oleh karenanya hak guru lebih diutamakan daripada hak orang tua.” (Imam al- Ghozali, Minhaj al-Muta’allim, {Kediri, Maktabah al- Ausath : 2023} hal 36).
Juga penjelasan tentang tata krama seorang murid dalam kitab Taisir al-Khallaq fi ‘Ilmi al-Akhlaq :
وأما آدابه مع أستاذه فمنها أن يعتقد أن فضله أكبر من فضل والديه عليه لأنه يربى روحه
“Adapun adab murid bersama ustadznya, sebagian daripadanya itu adalah meyakini keunggulan ustadznya lebih besar dari kedua orang tuanya karena ustadz mendidik ruhnya.” (Hafidz Hasan al-Mas’udi, Taisir al-Khallaq, hal 6).
Berdasarkan keterangan diatas, Ustadz Muhammad Lukman selaku pengkaji kitab Minhaj al- Muta’allim karya Al-Ghazali tersebut memberikan penjabaran bahwa jika hak orang tua disandingkan dengan guru, tentu hak guru yang lebih diprioritaskan. Karena orang tua merupakan sebab kehadiran manusia di dunia fana, sedangkan guru bermanfaat bagi manusia untuk mengarungi kehidupan kekal. Orang tua mendidik jasmani sedangkan guru mendidik rohani. Orang tua menurunkan anak dari langit menuju bumi (lahir), sedangkan guru mengangkat murid dari bumi menuju langit (kembali), sebagaimana yang disampaikan oleh Raja Iskandar Dzul Qornain ketika ditanya alasan mengapa ia lebih mengagungkan gurunya daripada kedua orangtuanya.

Bahkan dalam redaksi Minhaj al-Muta’allim yang lain, seorang murid diperbolehkan untuk berbeda pendapat dengan kedua orangtuanya dalam hal pendidikan. Ketika segala sesuatu itu bisa mendatangkan bencana iman dan islam bagi si murid jika tiada pengetahuan tentang sesuatu tersebut, maka mencari ilmu tentang hal itu hukumnya fardhu ‘ain sekalipun orang tua melarang untuk mempelajarinya.
وَيَجُوْزُ المُخَالَفَةُ لِوَالِدَيْهِ فِي التَّعَلُّمِ ، قَالَ فِي مَنْبَعِ الأَدَبِ قِيلَ : كُلُّ مَا لَا يُؤْمَنُ مِنَ الهَلَاكِ مَعَ جَهْلِهِ ، فَطَلَبُ عِلْمِهِ فَرْضُ عَيْنٍ ، لَا يَجُوزُ تَرْكُهُ وَإِنْ مَنَعَ الْأَبُ عَنْ طَلَبِهِ، سَوَاءٌ كَانَ مِنَ الْأُمُورِ الاعْتِقَادِيَّةِ كَمَعْرِفَةِ الصَّانِعِ وَصِفَاتِهِ، وَمَا يَجِبُ لَهُ، وَمَا يَسْتَحِيلُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَجُوْزُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، الصَّادِقُ فِي أَفْعَالِهِ وَأَقْوَالِهِ ، وَمِنَ الطَّاعَاتِ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِالظَّاهِرِ كَالطَّهَارَةِ، وَالصَّلَاةِ، وَالصَّوْمِ ، وَغَيْرِهَا. أَوْ مِمَّا يَتَعَلَّقُ مِنْهَا بِالْبَاطِنِ : كَالنِّيَّةِ ، وَالإِخْلَاصِ ، وَالتَوَكَّلِ، وَالصَّبْرِ وَالشَّكْرِ، وَغَيْرِهَا. وَمِنَ المَعَاصِيَ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِالظَّاهِرِ : كَالنَّظْرِ بِشَهْوَةٍ إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ أَوْ أَمْرَدَ نَبِيَّةٍ أَوْ أَمْرَدَ، وَالغِيْبَةِ، وَكُلِّ مَا يَتَعَلَّقُ بِاللَّسَانِ ، وَكَشُرْبِ الْخَمْرِ والزِّنَا، وَأَكْلِ الحَرَامِ وَالرِّبَا ، وَغَيْرِ ذَلِكَ. أَوْ مِمَّا يَتَعَلَّقُ مِنْهَا بِالْبَاطِنِ : كَالحَسَدِ، وَالْكِبْرِ ، وَالرِّيَاءِ ، وَسُوْءِ الظَّنِّ وَغَيْرِ ذَلِكَ. فَإِنَّ مَعْرِفَةَ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ فَرْضُ عَيْنٍ، وَيَجِبُ عَلَى المُكَلِّفِ طَلَبُهَا وَتَحْصِيْلُهَا وَإِنْ لَّمْ يَأْذَنْ لَهُ أَبَوَاهُ.
“Boleh muta’allim (pelajar) berselisih pendapat dengan kedua orang tuanya dalam hal belajar ilmu. Dikatakan dalam kitab Manba’ul Adab, segala sesuatu yang tidak aman dari kerusakan jika tiada pengetahuan tentang hal itu, maka mencari ilmu tentang hal tersebut hukumnya fardlu ‘ain. Tidak boleh meninggalkannya meskipun orang tuanya melarang untuk mempelajari ilmu tersebut. Baik ilmu tersebut berkaitan dengan hal keyakinan, seperti ilmu untuk mengetahui Allah dan sifat-sifatnya, segala sesuatu yang wajib, muhal dan jaiz bagi Allah, mengetahui bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, yang benar dalam segala perbuatan dan perkataannya. Atau ilmu tentang ketaatan yang berkaitan dengan anggota lahir, seperti ilmu untuk bersuci, sholat, puasa dan lain-lain. Atau ilmu ketaatan yang berkaitan dengan anggota bathin, seperti ilmu niat, ikhlas, tawakkal, sabar, syukur, dan selainnya. Dan ilmu tentang kemaksiatan yang berkaitan dengan anggota lahir, seperti ilmu haramnya melihat dengan syahwat terhadap wanita lain atau amrod, ghibah atau ilmu kemaksiatan yang berkaitan dengan lisan dan seperti haramnya minum khamr, zina, makan barang haram, riba dan selainnya. Atau ilmu kemaksiatan yang berkaitan dengan anggota bathin, seperti ilmu haramnya bersifat hasud, sombong, riya, berprasangka jelek dan lain-lain. Karena sesungguhnya mengetahui perihal ini hukumnya fardlu ‘ain, dan wajib bagi setiap mukallaf untuk mencari dan memperoleh ilmu tersebut meskipun kedua orangtuanya tidak mengizini.” (Imam al- Ghozali, Minhaj al-Muta’allim, {Kediri, Maktabah al- Ausath : 2023} hal 41).
Dalil-dalil diatas menunjukkan seberapa besar hak yang harus didahulukan oleh murid daripada hak orang tuanya. Namun realitanya tidak sesederhana itu, sebab kadangkala ada orang tua yang disamping ia membentuk fisik si anak, ia juga yang membimbing ruh anaknya. Begitu juga terdapat guru yang sebetulnya keilmuan agamanya kurang mumpuni lantas ia berprofesi layaknya guru yang ‘alim, sehingga ajaran yang disampaikan ke murid menyalahi kebenaran.
Sudah barang tentu ketika orang tua kita selain mengurus keperluan fisik, mereka juga membimbing, membina, mengarahkan, mengajarkan ilmu dan akhlak kepada kita sehingga bisa berhubungan baik dengan Allah dan makhluknya serta dapat beribadah dengan baik dan benar, dalam kondisi demikian hak orang tua tersebut sudah pasti wajib kita dahulukan dari siapapun. Terlebih ketika guru yang mengajari kita abal-abal, tentu keunggulan untuk selalu mendahulukan hak guru diatas orang tua dalam kondisi demikian tidak berlaku. Kajian ini juga selayaknya menjadi lecutan semangat untuk seluruh orang tua agar tidak terlalu menganggap ringan dan enteng dalam hal mendidik anak. Terlalu memasrahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada orang lain, ia hanya bertugas mencukupi kebutuhan si anak tidak kemudian menyebabkan derajatnya lebih unggul dari guru. Cobalah untuk juga mendidik, mengajar, membimbing dan mengarahkan anak agar orang tua juga ikut andil dalam membina rohani anak. Hingga akan membuat hak-haknya lebih diunggulkan daripada guru yang sebatas membina jiwa tanpa mengawal jasad si anak. Karena sejatinya pengawalan rohani oleh orang tua lebih membekas dan terpatri dalam jiwa anak, sebab ia yang mencukupi kebutuhan jasmani sekaligus rohani buah hatinya. Dan anak dengan sendirinya akan sadar ketika sudah dewasa bahwa orang tuanya telah berperan penting dan berjasa besar dalam mengawal tahapan-tahapan dalam proses kehidupannya.
Wal hasil, kalau pertanyaannya “Lebih utama mana antara menghormati dan berbakti kepada orang tua atau guru ?” Maka jawabannya sama-sama utama, sebab keduanya sama-sama menyandang predikat sebagai orang tua. Bapak ibu sebagai orang tua jalur duniawi (dunia) dan Guru sebagai orang tua jalur ukhrowi (akhirat).
Kalau kita bicara tentang perihal hak mana yang harus didahulukan antara orang tua dan guru, berdasarkan uraian diatas sudah barang pasti bahwa hak guru lebih diunggulkan. Karena guru sebagai orang yang mencetuskan ifadah (pemberian faedah agar lebih terarah) kepada anak lebih kuat daripada orang tua sebagai sosok yang menghasilkan wiladah (kelahiran seorang anak). Anak jalur wiladah kalau tanpa disertai proses ifadah tentu akan membuat anak berada diambang kehancuran dan kesesatan. Begitu juga ketika jalur wiladah ini tidak ada, artinya tidak ada anak yang dilahirkan tentu prospek dan program dari guru sebagai pencetus ifadah ini tidak akan berjalan. Maka demikian, dari kerangka analisa tersebut dapat dipahami bahwa hak guru lebih diunggulkan daripada hak orang tua dalam posisinya, dan hak orang tua itu unggul daripada hak guru dalam posisinya sendiri.
Oleh karena itu, apabila kedua hak tersebut dihadapkan pada seorang anak, maka hak gurulah yg dikedepankan dalam urusan ukhrowi (keakhiratan), dan hak ortu yg didahulukan dalam urusan duniawi (keduniaan).
Referensi :
Minhaj al-Muta’allim
Taisir al- Khallaq
Penulis: A. Syadidul Aqil
Editor: Agus Burhanul Amal Cholis