Kajian Hadist : Ayah Sambung Jadi Wali Nikah, Apa Boleh?

Oleh : K.H. Abdul Mujib Imron S.H. M.H.

Pasuruan, 17 Maret 2025 – Dalam agama Islam, konsep pernikahan adalah progres ibadah yang sangat sakral. Dibutuhkan banyak syarat yang harus dipenuhi juga. Seperti dalam madzab syafiiyah syarat pernikahan ada 6 aspek, yaitu : mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, 2 orang saksi, sighot aqad nikah dan juga mahar.

Dalam pembahasan ini, Wali nikah yang dimaksudkan adalah pihak yang berhak menikahkan seorang wanita sesuai dengan aturan syariat yang ada. Dijelaskan dalam masalah wali nikah yang utama (wali mujbir) adalah ayah dan kakek dari pihak ayah, dan dalam penjelasan ini yang dimaksud adalah ayah kandung. Dan jika wali mujbir-nya tidak ada, maka dapat berpindah ke wali lainnya dalam urutan tertentu.

وهو أى الوالي. شروع في بيان الأولياء وأحكامهم واعلم أن أسباب الولاية أربعة الأبوة وهي أقوى الأسباب والعصوبة والإعتقاق والسلطنة.أب فعند عدمه حسا أو شرعا أبوه وإن علا أى أبو الأب لكن بالتربيب فالأقرب من الأجداد ( اعانة الطالبين ج ٣ ص ٣٠٨)

“Wali dalam pernikahan adalah Ayah. Syarat-syarat dalam hal perwalian dan hukum yang menjelaskan nya. Ketahuilah bahwasanya sebab menjadi wali ada 4 hal : yaitu ayah kandung, dan ini merupakan sebab yang paling kuat, kemudian hubungan kerabat (nasab laki-laki dalam garis ayah), lalu merdekanya seorang budak (oleh tuannya), dan yang terakhir Kekuasaan (wali hakim jika tidak ada wali nasab). Jika ayah tidak ada, baik secara fisik maupun secara hukum, maka yang berhak menjadi wali adalah kakeknya, meskipun lebih tinggi nasabnya. Yaitu kakek dari pihak ayah, tetapi dengan tertib (berjenjang), di mana yang lebih dekat lebih diutamakan dari kakek yang lebih jauh.” (I’anatul Tholibin juz 3 hal 308)

Mushonnif menerangkan dalam maqro’ tersebut bahwa Ayah kandung sebagai wali utama. Namun jika tidak ada ayah, maka kakek dari pihak ayah berhak menjadi wali dengan mengikuti urutan yang lebih dekat nasabnya yang lebih diutamakan. Dan jika tidak ada wali dari jalur nasab, maka wali nikah berpindah ke hakim atau pemerintah (wali hakim).

Dalam Pengajian Pagi Kitab Shohih Bukhori, K.H. Abdul Mujib Imron S.H. M.H. juga memaparkah redaksi hadist tentang adanya agama Islam yang sangat menekankan kejujuran dalam pengakuan keturunan, karena hal ini terkait dengan hak-hak keluarga dan hukum Islam seperti warisan, perwalian, dan pernikahan. Banyaknya kasus di era modernisasi saat ini, ketika orang tua takut melukai anak akibat mengetahui ayah biologisnya, sehingga tanpa sadar ayah sambung memaksakan diri menjadi wali nikah tanpa mengkonfirmasi persyaratan dalam hukum syariat islam yang ada. Begitu pula juga adanya kasus Orang tua yang takut malu jika banyak orang tahu bahwa dirinya bukan orang tua kandung, sehingga tidak bisa menjadi wali nikah namun tetap memaksakan diri menjadi wali. Padahal hal ini tidak sesuai dengan syarat dan prinsip bab munakahat dalam islam. Beliau menjelaskan pada Kitab Shohih Bukhori hal. 68 juz 3 yang diriwayatkan oleh sahabat Abi Ishaq yaitu:

فَقَالَ سمعنا النبي صلى الله عليه وسلم يَقول مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ. ( صحيح بخاري ج ٣ ص ٦٨ )

Artinya : “Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain ayahnya, padahal ia mengetahui (bahwa itu bukan ayahnya), maka surga haram baginya.” (HR. Bukhari No. 6767, Muslim No. 63)

Makna dan Hikmah dari hadist tersebut menegaskan pentingnya menjaga nasab (garis keturunan). Islam sangat menekankan kejujuran dalam pengakuan keturunan, karena hal ini terkait dengan hak-hak keluarga dan hukum Islam seperti warisan, perwalian, dan pernikahan. Adanya larangan mengubah atau mengaku-ngaku nasab secara sengaja, karena orang yang dengan sengaja mengaku sebagai ayah kepada selain anaknya ataupun sebaliknya anak kepada selain ayahnya tanpa alasan syar’i dapat dianggap melakukan dosa besar.

Dalam hadist tersebut Kiyai Mujib menjelaskan konsekuensi dan dampak berat bagi orang yang memalsukan nasabnya bisa sampai kepada diharamkannya surga bagi mereka, hal ini menunjukkan betapa beratnya dosa ini di sisi Allah. Yang paling nampak adalah menyebabkan perwalian tidak sah dan nikah sang anak menjadi berhukum zina. 

Hadis ini mengajarkan umat Islam untuk selalu menjaga kejujuran, terutama dalam hal yang berkaitan dengan identitas dan keturunan, memiliki kejujuran dalam nasab. Karena keturunan adalah amanah yang harus dijaga dengan benar sesuai dengan hukum Islam.

Referensi :

Shohih Bukhori juz 3 cet. Haramain

Abu Bakar Ad-Dimyati, I’anatut Tholibin, Juz 3. Cet. Duta Ilmu

Abdul Manap, Mencontoh Akhlak Rasulullah dalam menumbuhkan integritas. jabar.nu.or.id

Dr. Omar Suleiman, The Most Honored Man By The Prophet ﷺ: Abbas ibn Abd al-Muttalib (ra) | The Firsts. yaqeeninstitute.org

Penulis: Nanda Khafita Sari

Editor: Mu’tamid Ihsanillah Lc. M.A.

case studies

See More Case Studies

Tertarik Untuk Bergabung Menjadi Penulis ?

Daftarkan diri Anda untuk menjadi kontributor penulisan dan berita di situs resmi alyasini.net!

Bergabunglah bersama kami untuk menyampaikan informasi, inspirasi, dan berita terkini seputar Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini. Jadilah bagian dari tim yang turut berkontribusi dalam menyebarkan kabar baik dan edukasi melalui tulisan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Informasi lebih lanjut dan pendaftaran, kunjungi situs resmi kami di alyasini.net. Mari berkarya bersama!

Masukkan Saran dan Kritikan