Oleh : Ustdz Yazid Bustomi
Pasuruan, 15 Maret 2025 – Seiring berjalannya waktu, manusia acap kali mempertanyakan mengenai Allah Swt. Hal demikian didukung oleh kemampuan manusia menjamah pengetahuan – pengetahuan yang mereka pelajari. Dia yang kritis terhadap Allah Swt sering kali dianggap menyalahi ketentuan umum, dianggap mengurusi urusan sang pencipta.
Juga sering kali kita menemui orang-orang yang mempertanyakan keberadaan Allah Swt, Allah Swt ada dimana hari ini? Kapan adanya Allah? Sering kali juga menemukan perdebatan dengan pertanyaan yang sama. Jawaban dari perdebatan itu keluar dari otak-otak yang tidak menguasai ilmu-ilmu agama/tauhid, atau dari mulut-mulut yang sesukanya berdalil tentang ketuhanan.
Seperti yang telah disebutkan ditulisan sebelumnya, bagi orang yang beriman secara tahqiq/hakiki dia tidak akan terpengaruh dengan statement atau pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Beda halnya dengan orang yang beriman secara taqlid atau bahkan istidlal, dia akan mudah terpengaruh dengan pertanyaan atau statement seperti itu. Maka dari itu, ketika kita memilih iman dengan jalan taqlid, harus baginya untuk mengikuti Ulama’ dengan sepenuh hati dalam berkeyakinan. Bagi mereka yang memilih jalan istidlal, yakinilah sepenuh hati bahwa setiap petunjuk yang datang adalah jalan keimanan yang sesungguhnya.
Setiap pertanyaan pasti pula ada jawabannya, Tidak setiap pertanyaan memiliki jawaban yang tepat, tidak setiap orang yang memberi jawaban adalah orang yang pakar dalam bidangnya. Seiring perkembangan zaman di era digital saat ini, setiap informasi yang masuk haruslah kita pilah dan pilih. Juga harus mengetahui betul sumber pemberi jawaban, dan mengetahui kapasitas yang menjawab, tidak terkecuali pertanyaan-pertanyaan dan jawaban mengenai ketuhanan.
Dalam kitab Qotrul Ghoist, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani memiliki jawaban yang sederhana mengenai Ketuhanan. Pertanyaan dimana Allah Swt, bagaimana sifatnya Allah Swt, kapan adanya Allah Swt dan berapakah Allah Swt? pertanyaan umum semacam itu sering kali menjadi perbincangan khalayak ramai. Namun, sebaiknya tinggalkanlah pertanyaan tersebut. Menurut Syekh Nawawi meninggalkan pertanyaan semacam itu dapat menyempurnakan iman kita.
من ترك أربع كلمات كمل إيمانه أين وكيف ومات وكم
Barang siapa meninggalkan empat kalimat maka sempurnalah imannya. Yaitu: Dimana, Bagaimana, Kapan dan Berapa.
Namun apabila ada orang lain yang bertanya mengenai empat pertanyaan tadi, maka jawablah seperti apa yang telah dijawab oleh Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dibawah ini:
1. Pertanyaan pertama:
فإن قال لك قائل أين الله؟
Apabila ada orang yang bertanya pada anda: “Dimana Allah?”
فجوابه ليس في مكان ولا يمر عليه زمان
Maka jawablah: “Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh masa.”
Pernyataan bahwa Allah itu ada dimana-mana adalah pendapat Jahm bin Shofwan (pendiri aliran Jahmiyah) kemudian pendapat ini juga diikuti oleh kaum Muktazilah. Muktazilah adalah rival terkuat aliran As’ariyah-Maturidhiyah. Kitab-kitab Asy’ariyah hingga kini seluruhnya menempatkan Jahmiyah atau pun Muktazilah di kategorikan aliran menyimpang

2. Pertanyaan kedua:
فان قال لك كيف الله؟
Apabila anda ditanya: “Bagaimana sifat Allah?”
فقل له ليس كمثله شيء
Jawablah:”Tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya”
Sifat mukhalafatu lil hawaditsi menunjukkan kesucian dan keistimewaan Allah dari segala kekurangan yang ada pada makhluk-Nya.
Syekh Nawawi juga menyebutkan dalam syarah Nurul al-Dolam-nya:
المخالفة للحوادث هو عدم مماثلة شيء من الحوادث له سبحانه وتعالى فليس لحما ولا عظما ولا طويلا ولا قصيرا ولا متوسطا فهو تعالى ذات ليس فيها شيء من صفات الحوادث. وكل ما خطر ببالك من صفات الحوادث لا تصدق ان في الله شيأ من ذلك، وليس له مكان أصلا فليس داخلا في الدنيا ولا خارجا عنها، قال الله تعالى وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ وقال الله تعالى لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya, “Al-mukhalafatu lil hawaditsi adalah ketidaksamaan sesuatu makhluk-Nya dan Allah swt. Allah swt tidak berdaging, bertulang, tinggi, pendek, dan juga tidak medium. Allah adalah zat yang tidak melekat pada-Nya sifat makhluk. Apa yang terbesit dalam benakmu, yaitu pelekatan sifat makhluk pada Allah, jangan kau benarkan bahwa pada Allah melekat salah satu sifat makhluk yang demikian itu. Allah tidak bertempat sama sekali, tidak di dalam dunia, dan tidak juga di luar dunia. Allah berfirman “Tidak ada bagi-Nya satupun yang menyamai,” dan “Tiada apapun yang sama seperti-Nya”.
3. Pertanyaan ketiga:
وإن قال لك متى الله؟
Apabila anda ditanya: “Kapan adanya Allah?”
فقل له أول بلا ابتداء وأخر بلا انتهاء
Jawablah: “Pertama tanpa permulaan dan terakhir tanpa penghabisan”.
Keberadaan Allah Swt tidak ada permulaannya, tidak juga didahului dari ketiadaan. Keberadaan tanpa awal mula inilah yang sering kita sebut dengan “qidam”. Seorang muslim yang merasa beriman tidak sah imannya apabila tidak menyakini bahwa Allah Swt itu bersifat qidam. Sifat qidam mempunyai sifat perlawanan yaitu sifat hudust, sifat hudust berarti Allah Swt itu bermula, punya awal mula, dan tentunya sifat hudust ini adalah sifat yang mustahil bagi Allah Swt.
Dalil Al-Qur’an banyak yang menyebutkan demikian, diantaranya ada disurat al-Hadid ayat 3:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
“Dialah Yang Maha Awal [yang tidak didahului ketiadaan] dan Maha Akhir [yang tidak diikuti ketiadaan]” (QS. al-Hadid: 3).
4. Pertanyaan keempat:
وإن قال لك كم الله؟
Apabila anda ditanya : “Berapakah Allah?”
فقل له واحد لا من قلة قل هو الله أحد
Jawablah: Allah Swt itu tunggal/esa bukan karena sedikit (kekurangan) Dialah Allah Maha Esa”.
Sudah sering kita mendengar lantunan surat Al-Ikhlas, surat peneguh keimanan. Seringlah membacanya, baca pula terjemahnya lalu yakinkan pula hati kita mengimani bahwa Allah itu Esa, kepada-Nya tempat meminta, Allah Swt tidak beranak apalagi diperanakkan, semua yang ada tidak akan pernah setara dengan-Nya.
Semoga Allah membimbing jalan pikiran kita dari penisbatan sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah SWT. Semoga Allah meneguhkan keimanan kita, mempertebal ketaatan kita. Wallahu a‘lam.
Referensi: Al-Qur’an, Qo
trul Ghoist, Nurul al-Dolam.
Penulis: Fathul Rozak
Editor: Mu’tamid Ihsanillah Lc., M.A.