Suatu ketika ada seorang tua renta yang sedang berwudhu’, kebetulan juga ada Sayyid Husain bin Ali putra Siti Fatimah, cucu kesayangan Baginda Nabi saw melihat orang tua tersebut. Lamat-lamat Sayyid Husain memperhatikan cara wudhunya.
Ada yang aneh dalam wudhunya, pasalnya orang tua tersebut berwudhu’ tidak runtut, tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan Baginda Nabi saw. Mula-mula ia membasuh kaki, kemudian tangan lalu wajahnya dan kemudian diakhiri dengan mengusap sebagian rambut di kepalanya.
Sayyid Husain yang melihat kejadian tersebut merasa jengkel dan menggerutu, maklum beliau masih muda, jiwanya labil. Lekas melihat kejadian tersebut, Sayyid Husain ingin menghampirinya dan mengajarkan cara wudhu’ yang benar. Kebetulan saat itu pula muncul Sayyid Hasan, kakak Sayyid Husain. Sayyid Hasan mencegah niatan adiknya itu dan menyuruh adiknya agar memberikan waktu orang tua tersebut untuk menyelesaikan wudhu’ nya.
Lalu, Sayyid Hasan menanyakan dengan lembut tentang kejengkelan yang dialami oleh adiknya itu. Sayyid Husain menceritakan kejadian orang tua itu yang berwudhu’ dengan cara demikian. Sang kakak pun menyimak cerita sang adik dengan seksama.
Mendengar cerita sang adik, Sayyid Hasan kemudian dengan bijak menyampaikan bahwa nasihat haruslah disampaikan dengan baik, jangan ketika marah dan dikerumuni nafsu lantas memberikan nasihat. Tujuan nasihat dan ajar adalah mampu mengubah orang lain secara perlahan menuju kebaikan atau mengubah kesalahan menuju kebenaran. Ada pula nasihat yang disampaikan namun malah menimbulkan kemungkaran, menimbulkan kebencian dan ini yang harus dihindari.
Dalam kejadian tersebut, Sayyid Hasan menekankan kepada Sayyid Husein agar menyampaikan pengajaran dan nasihat dengan baik kepada orang lain, khususnya kepada orang tua. Karena tak semua orang tua menerima nasihat orang yang lebih muda darinya, maka dari itu perlu cara tersendiri dalam menyampaikan nasihat kepada orang yang lebih tua dari kita.
Sayyid Hasan kemudian memerintahkan kepada adiknya agar berwudhu’ seperti orang tua itu dan melakukannya sebelum orang tua itu berwudhu’. Menjelang sholat, Sayyid Husain menunggu orang tua itu dengan harapan bisa berwudhu’ sebelum orang tua itu berwudhu’. Tak lama menunggu, akhirnya orang tua itu datang, lalu Sayyid Husain berwudhu’ dengan cara orang tua itu berwudhu’. Sayyid Hasan yang melihat kejadian tersebut lantas membetulkan cara wudhu’ sang adik dengan baik.
Orang tua yang melihat kejadian tersebut lantas bertanya kepada Sayyid Hasan tentang keabsahan wudhu’ yang ia lakukan. Melihat orang tua yang menghampirinya dan bertanya tentang keabsahan wudhu’ nya sendiri, Sayyid Hasan optimis bahwa dakwahnya bisa diterima dengan baik oleh orang yang lebih tua darinya. Keterbukaan orang tua itu adalah tanda bahwa ia ingin mengetahui kebenaran. Dan ingin adalah awal dari perubahan dari sesuatu yang salah menjadi sesuatu yang benar.
Karena ditanya, maka Sayyid Hasan menjawab bahwa wudhu’ yang orang tua itu lakukan kurang sempurna, kemudian Sayyid Hasan mengajarkan wudhu’ kepadanya seperti yang ia ajarkan kepada sang adik. Dengan cara dakwah seperti ini, akhirnya orang tua itu bisa mengetahui bahwa wudhu’ yang ia lakukan selama ini kurang sempurna.
Dalam cerita tersebut, penting bagi kita melihat dahulu siapa lawan bicara kita, siapa yang hendak diajar kita, dan siapa yang hendak kita nasehati. Hal ini penting dalam menyamakan status di setiap obrolan ilmu.
Bahkan anak kecil yang kita ajar, kita harus terlebih masuk dalam dunia mereka, agar nasihat dan ilmu sampai kepada mereka. Jangan malah mengajarkan anak TK dengan metode ajar anak kuliahan yang kaku. Benar menyampaikan ilmu, tapi kurang tepat dalam metodenya.
Selain hal itu, jangan mudah menyalahkan orang lain, sekalipun orang memang salah. Penting bagi kita membangun terlebih dahulu metode penyampaian yang baik agar kebenaran mampu diterima dengan baik. Seperti yang telah dicontohkan Sayyid Hasan dan Husain.
Hari ini, Islamophobia tengah merebak di tengah-tengah kita. Sentimen buruk dibangun orang lain terhadap Islam. Orang lain cenderung memandang Islam dengan label anarkisme, sarkasme, brutalisme bahkan di belahan dunia yang awam dengan ilmu Islam, mereka menganggap agama Islam adalah agama teroris.
Sebaiknya bagi kita untuk selalu menyampaikan Islam dengan lembut, tidak perlu berteriak dengan marah, namun mampu menyentuh hati mustami’in. Islam adalah agama yang lembut tapi tak lemah, tegas tapi tak keras. Islam selalu ramah tak selalu marah. Islam adalah agama yang indah dari semua sisi kehidupan dan ibadah.
Rozak
Kontributor: Fathur Rozak
Editor: Salwa Maziyatun Najah, M.Ed