Kajian Fiqih: Najis Air Kencing Bayi Laki-Laki yang Minum Susu Formula

Pembahasan najis seringkali dalam kajian kitab-kitab fiqih dikemukakan pada bab awal, sebab suci dari najis menjadi salah satu syarat sah dari keabsahan ibadah. Dalam najis sendiri terdapat beberapa klasifikasi dan cara mensucikannya, yakni najis Mukhaffafah yang bisa suci hanya dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis, najis Mutawassithah yang dapat suci dengan mengalirkan air pada tempat najis, dan terakhir najis Mughalladhah yang bisa disucikan dengan harus membasuhnya dengan air sebanyak 7 basuhan yang salah satu basuhannya dicampur dengan debu.

Najis mukhaffafah hanya mempunyai satu bentuk dan satu contoh yakni air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum mengkonsumsi apapun kecuali ASI. Sedangkan urin bayi perempuan tidak termasuk najis mukhaffafah melainkan mutawassithah. Terkait perbedaan ini akan diulas lebih lanjut pada artikel selanjutnya.

Kekhususan hanya makan dan minum ASI ternyata tidak menjadi syarat paten bagi bayi laki-laki agar urinnya tergolong najis mukhaffafah. Dalam literatur beberapa kitab, susu (laban) yang dimaksud tidak tertentu pada ASI saja sebagaimana yang diungkapkan Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami :

قَوْلُهُ: (الطَّعَامَ) الْمُرَادُ بِهِ غَيْرُ اللَّبَنِ حَتَّى الْمَاءُ بَلْ يَشْمَلُهُ لَفْظُ الطَّعَامِ، وَعِبَارَةُ أَصْلِ الرَّوْضَةِ لَمْ يَطْعَمْ وَلَمْ يَشْرَبْ سِوَى اللَّبَنِ اهـ. قَالَ سم: وَقَضِيَّةُ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أُمِّهِ وَغَيْرِهَا خِلَافًا لِلْأَذْرَعِيِّ فِي لَبَنِ الشَّاةِ وَنَحْوِهَا، وَلَا بَيْنَ اللَّبَنِ النَّجِسِ وَالطَّاهِرِ خِلَافًا لِلزَّرْكَشِيِّ اهـ. وَقَوْلُهُ: وَالنَّجِسُ، وَلَوْ مِنْ مُغَلَّظٍ، وَإِنْ وَجَبَ تَسْبِيعُ فَمِهِ لَا سَمْنِهِ وَجُبْنِهِ. اهـ. ق ل. قَالَ ح ل: وَمِنْ الطَّعَامِ السَّمْنُ وَلَوْ مِنْ لَبَنِ أُمِّهِ اهـ. . 

“Ungkapan: (الطَّعَامَ / makanan) yang dimaksud dalam bab ini adalah selain susu, bahkan air pun termasuk dalam cakupan lafaz “makanan”. Ungkapan kitab asli ar-Raudhah disebutkan: “Tidak makan dan tidak minum selain susu”. Syaikh Ahmad bin Qasim al-Ubbadi berkata: Dari pernyataan mereka, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara susu dari ibu sendiri (manusia) dan lainnya, berbeda dengan pendapat al-Azra’i mengenai susu kambing dan semisalnya. Begitu juga tidak ada perbedaan antara susu najis dan susu suci, berbeda dengan pendapat az-Zarkasyi. Ungkapannya (al- Qalyubi) : “dan yang najis, walaupun susu dari najis berat (مُغَلَّظٍ), meskipun mengharuskan mencuci mulut tujuh kali, tidak berlaku pada minyak samin (lemak susu) dan keju.” al- Halabi berkata: “Samin (lemak) termasuk dalam kategori makanan, sekalipun berasal dari susu ibunya”. (Sulaiman al- Bujairomi, Hasyiyah al- Bujairomi, {Beirut, Dar al-Fikr : 1995} juz 1, hal 36).

Dapat disimpulkan dari ibarat diatas bahwa ungkapan susu (laban) yang diminum bayi laki-laki dalam pembahasan najis mukhaffafah mencakup seluruh jenis susu, baik susu ibunya, atau lainnya. Termasuk susu hewan, sekalipun dari hewan najis mughalladhah.

Lantas apakah susu formula juga terkategorikan sebagai susu (laban) dalam pembahasan ini ? 

Melihat realita bahwa susu formula adalah berbentuk bubuk dan tidak berupa susu murni, artinya banyak bahan campuran yang terkandung didalamnya dan dalam penyajian nya pasti dicampur dengan air serta tujuan meminumnya adalah untuk mendapatkan nutrisi dan gizi maka seluruhnya adalah cacat dalam persyaratan jenis susu dalam kajian ini. Sehingga bayi laki-laki yang telah mengkonsumsi susu formula meskipun belum berumur 2 tahun urinnya bukan tergolong najis mukhaffafah lagi. Tapi sudah berubah menjadi najis mutawassithah yang cara mensucikannya harus dengan dibasuh dengan air .

وَلَوْ اخْتَلَطَ اللَّبَنُ بِغَيْرِهِ، فَإِنْ كَانَ الْغَيْرُ أَكْثَرَ غُسِلَ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ أَوْ مُسَاوِيًا فَلَا غَسْلَ وَاَلَّذِي اعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا أَنَّهُ يُغْسَلُ مُطْلَقًا حَيْثُ كَانَ يَتَنَاوَلُهُ عَلَى وَجْهِ التَّغَذِّي اهـ زي اهـ ع ش .

“Dan jika susu bercampur dengan sesuatu lainnya, maka jika yang selain susu itu lebih banyak, najis urinnya wajib dibasuh; tetapi jika yang lainnya lebih sedikit atau seimbang dengan susu, maka tidak wajib dibasuh. Namun, yang dipegang kuat oleh guru kami adalah bahwa urinnya tetap wajib dibasuh secara mutlak selama bayi tersebut mengkonsumsinya dengan tujuan menambah gizi. Diriwayatkan dari Syekh Yahya bin Ali az-Zayadi, dan Syekh Ali asy-Syibramalisi”. (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, {Beirut, Dar al-Fikr : tanpa tahun}, juz 1 hal 188).

Permasalahan berikutnya, ketika bayi laki-laki yang telah meminum susu formula tersebut kembali mengkonsumsi air susu ibunya apakah urinnya kembali menjadi najis mukhaffafah lagi ?

Dalam hal ini Syekh Sulaiman bin Umar al-Jamal sudah membahasnya : 

لَوْ أَكَلَ غَيْرَ اللَّبَنِ لِلتَّغَذِّي فِي بَعْضِ الْأَيَّامِ، ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْ ذَلِكَ وَصَارَ يَقْتَصِرُ عَلَى اللَّبَنِ فَهَلْ يُقَالُ لِكُلِّ زَمَنٍ حُكْمُهُ أَوْ يُقَالُ يُغْسَلُ مُطْلَقًا؛ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ عَلَيْهِ أَنَّهُ أَكَلَ غَيْرَ اللَّبَنِ لِلتَّغَذِّي الَّذِي يَظْهَرُ الثَّانِي كَمَا قَالَهُ شَيْخُنَا الطَّنْدَتَائِيُّ أَيْضًا، 

“Jika seorang bayi makan selain susu untuk tujuan mendapatkan gizi pada sebagian hari, lalu ia meninggalkan hal itu dan kembali hanya mengkonsumsi susu saja, apakah setiap waktu (periode) itu dihukumi menurut keadaannya masing-masing, ataukah dikatakan bahwa urinnya tetap wajib dibasuh secara mutlak, karena secara umum ia tetap disebut pernah makan selain susu untuk tujuan gizi? Yang tampak lebih kuat adalah pendapat kedua (yaitu tetap wajib dibasuh secara mutlak), sebagaimana yang juga dikatakan oleh guru kami, at-Thandata’i”. (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, {Beirut, Dar al-Fikr : tanpa tahun}, juz 1 hal 188).

Pertanyaan selanjutnya, dalam proses pertumbuhan bayi ala islami adakalanya nanti si bayi akan di tahnik (amalan yang dianjurkan dalam Islam, dimana sedikit kurma atau makanan manis lainnya yang telah dikunyah oleh seseorang yang saleh, diberikan kepada bayi yang baru lahir dengan menyuapkannya ke langit-langit mulut bayi) atau sang bayi mengalami sakit hingga diharuskan meminum obat. Apakah mengkonsumsi hal-hal tersebut juga menyebabkan cacat syarat dalam kategori najis mukhaffafah pada urin bayi ?

Dari ibarat-ibarat di atas memang menyebutkan bahwa bayi  yang mengkonsumsi makanan selain susu maka menjadikan urinnya berubah status menjadi najis mutawassithoh, hal ini terjadi jika tujuan makannya untuk alasan Taghoddi (menambah nutrisi dan gizi atau mengambil kekuatan untuk hidup). Jika tujuannya tidak untuk itu, seperti makan sesuatu untuk tujuan pengobatan atau hanya sekedar mengamalkan kesunnahan tahnik maka tidak mempengaruhi terhadap status kencingnya yang masih berhukum najis mukhaffafah. Sebagaimana yang disampaikan Imam Ibrahim al-Bajuri :

( قوله الأبوال الصبي الخ) البول قيد أول والصبى قيد ثان والذي لم يأكل الطعام قيد ثالث. وقوله على جهة التغذى قيد في القيد فيصدق حينئذ بالذي لم يأكل الطعام أصلا وبالذي تناوله لا على جهة التغذي كتحنيكه بتمر ونحوه وتناوله لسفوف ونحوه للاصلاح وبقى قيد آخر وهو أن يكون دون الحولين فخرج بالبول غيره كالغائط والدم والقيح وبالصبي غيره من الصبية والخنثى وبالذى لم يأكل الطعام على جهة التغذى من أكله للتغذى ولو مرة وان عاد الى اللبن وبقبل الحولين ما بعدهما

“(Ungkapan: air kencing anak kecil, dll.) ‘Air kencing’ adalah batasan pertama, ‘anak kecil’ adalah batasan kedua, dan ‘yang belum makan makanan’ adalah batasan ketiga. Adapun perkataan ‘dengan cara untuk menambah nutrisi’ adalah batasan tambahan di dalam batasan ketiga. Maka yang dimaksud dengan ‘yang belum makan makanan’ bisa mencakup: Anak yang sama sekali belum makan makanan, atau Anak yang memakan sesuatu tapi bukan untuk nutrisi, seperti mengunyahkan kurma untuk tahnik, atau menelan serbuk obat dan semacamnya untuk tujuan pengobatan. Kemudian ada batasan lain, yaitu: anak itu harus berusia di bawah dua tahun. Dengan demikian: Dikecualikan dari ‘air kencing’ yaitu lainnya seperti tinja, darah, dan nanah. Dikecualikan dari ‘anak kecil’ yaitu lainnya seperti anak perempuan dan anak banci. Dikecualikan dari ‘yang belum makan makanan untuk nutrisi’ yaitu anak yang sudah makan makanan untuk nutrisi meskipun hanya sekali, walaupun setelah itu kembali minum susu. Dan dikecualikan dengan syarat ‘sebelum dua tahun’ yaitu anak yang sudah melewati usia dua tahun.” (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, {Indonesia, al-Haramain: Tanpa Tahun}, juz 1 hal 106).

Kesimpulannya, bayi laki-laki yang mengkonsumsi susu formula air kencingnya berhukum najis mutawassithah bukan mukhaffafah lagi, sebab kandungan dalam susu formula yang tidak murni susu dan penyajiannya pasti menggunakan air serta tujuan meminumnya karena alasan Taghoddi.

Kontributor: Ahmad Syadidul Aqil

Editor: Mu’tamid Ihsanillah, Lc., M.A.

case studies

See More Case Studies

Tertarik Untuk Bergabung Menjadi Penulis ?

Daftarkan diri Anda untuk menjadi kontributor penulisan dan berita di situs resmi alyasini.net!

Bergabunglah bersama kami untuk menyampaikan informasi, inspirasi, dan berita terkini seputar Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini. Jadilah bagian dari tim yang turut berkontribusi dalam menyebarkan kabar baik dan edukasi melalui tulisan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Informasi lebih lanjut dan pendaftaran, kunjungi situs resmi kami di alyasini.net. Mari berkarya bersama!

Masukkan Saran dan Kritikan